Kilas To Ugi
Artikel Feature
Indonesia memiliki budaya dan adat istiadat yang sangat beragam. Dalam catatan Badan Pusat Statisfik dari hasil Sensus Penduduk tahun 2010 tercantum 1.340 kelompok suku di Indonesia. Salah satunya adalah masyarakat suku Bugis.
Suku Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Mereka umumnya mendiami daerah-daerah di Kabupaten Luwu, Wajo, Soppeng, Bone, Sidenreng Rappang, Pinrang, dan Barru. Bugis berasal dari kata To Ugi’ yang berarti orang Bugis. Penamaan Ugi’ merujuk pada raja pertama kerajaan Tiongkok di Pammana, Kabupaten Wajo saat itu, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi’ atau para pengikut dari La Sattumpugi.
Suku Bugis atau sebutan hangatnya disebut To Ugi’ memiliki sejuta kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun hingga kini. Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi pandangan serta prinsip hidup. Olehnya itu, tidak heran bahwasanya To Ugi’ terus melakukan upaya mempertahankan kebudayaan mereka. Salah satu upaya mereka dalam mempertahankan kebudayaannya yaitu dengan mengimplementasikan seluruh adat istiadat di dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada kenyataannya, saat ini semua sirna seakan luntur ditelan zaman.
Di tengah kondisi saat ini, maraknya perkembangan budaya luar yang masuk ke celah-celah kehidupan masyarakat suku Bugis, sangat mempengaruhi aspek kebudayaan mereka. Kian lunturnya kebudayaan ini, membuat To Ugi’ optimis kembali mewujudkan generasi cinta budaya.
Salah satu To Ugi’ tokoh optimis pejuang budaya adalah Andi Sitti Nurhidayah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pung Daya. Sesuai dengan permulaan namanya, Andi bermakna gelar yang diberikan kepada keturunan bangsawan Bugis kuno. Pung Daya lahir di Desa Paowe Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan pada tanggal 31 Desember 1940.
Salah satu hal yang diwariskan oleh keluarganya adalah kebudayaan. Sejak duduk di bangku sekolah hingga kini, Pung Daya sangat mempertahankan kebudayaan mulai dari hal-hal kecil dalam kesehariannya, salah satunya adalah menulis menggunakan aksara Lontara. Apakah Sahabat tahu apa yang dimaksud dengan aksara Lontara? Aksara Lontara merupakan aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Lontara sendiri berasal dari kata Lontar yang merupakan spesies flora endemik di Sulawesi Selatan. Pada naskah peradaban Bugis I La Galigo, naskah ditulis dengan aksara Lontara pada wadah berbentuk unik. Yaitu selembar daun Lontar yang panjang dan tipis digulungkan pada dua buah poros kayu sebagaimana halnya pita rekaman pada kaset. Teks kemudian dibaca dengan menggulung lembar tipis tersebut dari arah kiri ke kanan. Aksara ini digunakan untuk menuliskan pesan atau dokumen penting lainnya di atas daun Lontar, jauh sebelum kertas ditemukan.
Pada umumnya kebaya dipakai hanya dalam kegiatan peribadatan atau upacara adat, namun lain halnya dengan Pung Daya, setiap harinya beliau selalu memakai kebaya yang dikenakan dengan lipa’ sabbe. Sahabat pasti sudah tahu kan seperti apa itu kebaya? Jauh halnya dengan kebaya, lipa’ sabbe adalah sarung khas dari suku Bugis yang terbuat dari kain sutera, sesuai dengan namanya lipa’ sabbe berasal dari bahasa Bugis yaitu lipa’ yang artinya sarung dan sabbe artinya sutera.
Tidak hanya cara menulis dan berpakaian, Pung Daya juga sangat memperhatikan dan selalu menerapkan adat istiadat To Ugi'’ dengan melakukan berbagai upacara adat salah satunya adalah adat istiadat pernikahan yang dilakukan mulai dari tahap persiapan hingga berakhirnya prosesi pernikahan seperti adat mapettuada (silaturahmi antara kedua keluarga), mammanu-manu’ (pihak mempelai laki-laki datang dan membahas pernikahan), mappasiarekeng (mengukuhkan kesepakatan), ma’baca doang (membaca doa), ma’barasanji (shalawat), mappatemme qur’an (khatam Al-qur’an), mappacci (menyucikan diri), kawing (ijab qabul), mapparola (pihak mempelai perempuan datang ke kediaman mempelai laki-laki), marola (pihak mempelai laki-laki datang ke kediaman mempelai perempuan), massita beseng (silaturahmi antara kedua keluarga setelah menikah), dan mabbenni tellumpenni (keluarga mempelai perempuan menginap di kediaman mempelai laki-laki).
Dalam beberapa kesempatan kemarin, saya sempat berbincang dengan salah satu cucu Pung Daya, Andi Dwi Alika Iswardani yang menceritakan, “Beliau sangat setia dengan budaya. Menurutnya, budaya merupakan bentuk warisan leluhur yang sangat penting untuk dijaga, olehnya itu dalam penerapannya beliau berharap dapat menjadi contoh oleh generasi penerus bangsa. Jika Pung Daya ingin keluar rumah, ke manapun itu selalu memakai kebaya yang dikenakan dengan lipa sabbe. Setiap hari lebaran tiba, beliau melaksanakan tradisi ma’baca doang (membaca doa), dengan menggunakan baki dan gelas-gelas tradisional simpanan nenek moyangnya” ungkapnya. (20/8/2021)
Bagaimana pendapat Sahabat mengenai adanya tokoh optimis pejuang budaya seperti Pung Daya? Sungguh, patutnya kita berbangga adanya tokoh-tokoh pejuang budaya seperti Pung Daya di era saat ini. Dengan adanya pejuang budaya kita selalu mengenang dan mempertahankan segala kebiasaan, pandangan, bahkan prinsip hidup para pendahulu. Semoga generasi penerus bangsa senantiasa menanamkan rasa semangat cinta budaya hingga meneruskan jejak para pejuang kini dan nanti.
Oleh. Andi Aulia Azzahra Rauf